Sabtu, 04 April 2015

SERPIHAN RINDU

SERPIHAN RINDU
Oleh; asmaul Husna





Jarum jam sudah menunjuk angka 10.15 menit. Langit masih saja gelap berselimut awan hitam pekat. Mentari entah kemana. Sedari tadi tak nampak senyumnya. Sedikitpun. Tak perlu menunggu lama, sekitar 5 menitan hujan turun deras. Diiringi suara petir sahut menyahut memecah keheningan. Kupandangi rintik hujan daribalik jendela sembari mendekap sebuah pigora kecil kira kira ukuran 5R. Sebuah pigora yang di sisi kanan atas ada motif bunga sedang di sisi kiri tengah ada tulisan Joger. Ya, hadiah dari Kinan yang dibelinya sewaktu dia rekreasi ke Bali. Isi pigora ?? Sebuah foto. Foto penuh kenangan. Kenangan manis (bagiku). Rasanya seperti mimpi. Kutatap foto itu sekali lagi. Tidak, An. Kau tidak sedang bermimpi. Nyata. Itu kau yang disana, dan itu mereka. Kinan juga Reza. Adik adikmu, yang begitu kau rindukan dan kau tlah bertemu. Singkat memang, tapi tetap terasa manis. Indah. Ahh Kinan, Rezaaa...

*******

"Mbak, ayolah. Dateng ya, pleaseeee!
!" Suara Kinan di ujung telepon sana.
"Aduuh, gimana ya? Pengen sih. Tapi, besok Mbak harus kerja. Ngga bisa bolos soalnya udah 3x absen," sahutku.
"Mbaaak, kalau bukan besok aku ngga tau kapan lagi. Ini kesempatan kita ketemu. Ayolah."
Aku menarik nafas pelan," Insyaallah... Mbak usahain tapi ngga janji lho yaa. Semoga Allah ridho."
"Iyaaa Mbakk... Aamiin. Aku tunggu," sahutnya setengah berteriak. Telepon ditutup.
Gimana ya? Ngga mungkin juga aku bolos kerja bisa-bisa gempa lagi di tempat kerja alias konser dadakan bos aku. Ya, dimarahin. Kalau yang kena marah cuma aku, okelah. Tak apa. Lha ini .... biasanya kalau satu dimarahin, semua karyawan juga kena marah. Kasiaan. Cuma, aku sudah sangat menantikan ini. Kesempatan di depan mata. Haruskah kubiarkan saja? Ahh, Rabbi ....
Beberapa detik kemudian. Cliiingg! Ide muncul. Tukar shif kerja aja, An. Ahaaa! Iya, tukar shif kerja. Ey, tapi mau ngga ya? Tak ada salahnya dicoba.
"Say, besok aku tuker shif dong. Bisa ngga? Soalnya ada keperluan. Penting."
"Ngga papa Mbak An. Bisa kok. Tapi Mbak An yang ngomong ke bos ya kalo kita tukeran shif kerja. Kan mbak tau sendiri, Bu bos kalooo..."
"Okee, aku paham kok. Makasih ya?"
 
Yesss! Sekarang izin sama atasan nih. Aduuh ... Harus yakin. Bismillah ...
"Ibu, maaf ganggu waktunya. Bu, besok saya mau tukeran shif kerja sama Silvi. Boleh Bu ya? Soalnya besok siang saya ada perlu. Penting. Boleh kan, Bu?
Pleasee …"
Sms dibalas. "Oke boleh."
Alhamdulillah ...
 
 Kinan ... Reza ...


******


Pagi yang cerah. Mentari tersenyum hangat. Seakan dia pun tau hatiku sedang berbunga-bunga. Ngga sabar rasanya menanti jam segera berputar. Beberapa kali kulirik jam tangan ungu kesayanganku yang melingkar di pergelangan lengan kiri. Masih jam 9 pagi. Ah, masih harus nunggu beberapa jam lagi nih. Sabarlah, An.
“Mbakk, kenapa senyum-senyum gitu? Kayak orang gila tahu. Persis," ucap Mbak Rena. Rekan kerjaku. Aku menoleh. Hanya tersenyum.
"Ihh, Mbak Ana. Aneh. Padahal ini juga masih hari selasa belum malam Jum'at."
"Apa hubungannya?" Tanyaku.
"Yaa kan kalo malam Jum'at wajar senyum-senyum ngga jelas gitu. Orang juga udah paham pasti lagi kesurupan tuh. Lha ini masih juga hari Selasa, masak iya udah kambuh aja kesambetnya. Paraaah tuh," jawab Mbak Rena sambil menunjuk ke arahku. "Enak aja." Mbak Rena tertawa kecil.
"Tumben, tuker shif kerja?" tanya Mbak Rena.
"Ho'oo ... Soalnya ntar siang mau ketemuan samaaa ..."
"Siapa?"
"Mau tahu? Ayo ikut."
"Hmmm ...Ya, ngga bisalah. Bisa gempa dong kalau aku ikutan, kayak ngga tahu aja."
"Heehee, iya sih."
"Mau ketemu siapa sih?"
"Ada deh. Rahasia!" Ujarku. Kemudian aku berlalu meninggalkan Mbak Rena yang keliatan penasaran. Lha kok sekarang mendung? Mana gelap banget lagi. Alamat nih ... Tapi, semoga saja tidak akan deras hujannnya. Hatiku berdebar. Hp bergetar. Sms masuk. Reza.


"Mbak, nanti jadi dateng kan?" Jawab apa ya? Pengen sih, dateng. Pengen banget. Kalau hujan deres, gimana?
"Insyaallah," kubalas singkat.
"Aku tunggu lho, Mbak"
 
Dan akhirnya, hujan pun turun juga.
"Mbak, udah berangkat?" Sms dari Kinan.
"Belum Dek. Masih di tempat kerja. Nanti insyaallah usai sholat dzuhur Mbak berangkat. Tapi disini sekarang hujan."
"Yaaah gimana dong? Tetep jadi dateng kan, Mbak? Ayolah, pleaseee!"
"Ngga tahu. Insyaallah, Mbak usahainlah."
"Beneran ya? Semoga ujannya segera reda."
Tak kubalas lagi sms Kinan. Sudah mau masuk waktu dzuhur. Hujan masih turun, namun memang tak sederas tadi. Langit juga masih belum mau tersenyum. Mendung.
Sekitar 30 menit kemudian ... "Allahu Akbar, Allahu Akbar..." Suara adzan sudah terdengar. Aku segera ambil wudhu, lantas menunaikan sholat dzuhur. Dalam sujud, kukatakan segala hasrat yang tersimpan dalam hati. Seusai sholat, hati terasa lebih tenang. Aku melepas mukena, kulipat rapi sebelum aku masukkan ke dalam tas. Kuambil kaca yang memang ada di tas kerjaku lengkap dengan perlengkapan make up lainnya, seperti bedak, lipstik dan kawan kawannya. hehe.
Kusapukan sedikit bedak ke muka. Sedikit lipstik, sedikit eye shadow warna kalem. Tidak mencolok. Kupilih warna agak kecoklatan agar terkesan natural. Kusematkan bros di kerudung lalu kupakai blazer warna hitam. Sudah cukup rapi. Berangkat. Bismillah ...
Alhamdulillah. Hujan sudah reda. Hanya sedikit rintik gerimis menemaniku menunggu angkot siang itu. Sekitar 10 menit menunggu, akhirnya dapat angkot juga. Kupilih duduk di bangku panjang sebelah kiri tepat dekat pintu, kuarahkan pandangan ke jalan raya. Cukup macet.


*******
 
Belum ada setengah jalan. Hujan turun lagi. Tidak deras memang. Jalanan yang memang dipadati kendaraan mulai roda dua hingga roda empat, ditambah genangan air di jalanan yang volumenya cukup tinggi. Kira-kira setengah betis orang dewasa. Arus lalu lintas jadi makin macet. Belum lagi ada beberapa kendaraan yang mogok. Macet bukan pemandangan yang aneh di kotaku. Dari pagi buta hingga malam jalanan selalu padat apalagi di jam-jam kerja. Kalau weekend, memang jalanan tidak terlalu padat tapi sering juga macet. Menyebalkan! Hal yang paling tidak aku suka. Macet lagi, lagi, dan lagi. Kulirik jam, sudah hampir 45 menit aku di dalam angkot. 
"Mbak aku udah nyampe. Mbak dimana?" Suara Kinan di ujung telepon.
"Masih di jalan. Kena macet."
"Masih jauh ya? Ini aku sekarang lagi makan siang bareng temen-temen sama guru guru juga."
"Lumayan. Tapi macetnya ini yang makan waktu. Belum mulai acaranya?"
"Bentar lagi. Kira-kira setengah jam lagi nyampe ngga mbak?"
"Lebih dari itu deh, kayaknya. Kamu balik jam berapa?"
"Jam 3-an. Mmmm, ati-ati d jalan ya mbak. Aku tunggu."
"Sampai ketemu ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
 
Sudah hampir jam satu. Kurang lima belas menit. Kinan Reza, tunggu ya. Alhamdulillah angkot yang aku tumpangi nggak mogok. Angkot terus melaju. Langit mulai agak cerah. Awan hitam pekat mulai berkurang. Gerimis sudah berhenti.
Sekitar setengah jam, nyampe juga di terminal. Sudah semakin dekat. Selangkah lagi. Aku harus naik angkot satu kali lagi untuk sampai ke Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, menemui adik-adikku. Setahun lebih menanti. Sebentar lagi, An ...


***

Angin berhembus semilir. Dedaunan melambaikan tangannya. Rumput hijau di lapangan bergoyang pelan. Beberapa mahasiswa lalu lalang di sekitarku. Ada yang duduk santai di masjid, ada yang nongkrong di pinggir lapangan dan ada juga yang nangkring di pos security. Ngobrol dengan pak satpam. Entah apa yang mereka bicarakan. Sedang aku
? Aku memilih duduk di pinggir lapangan tepat sebelah selatan masjid. Duduk sendirian. Karena, orang yang akan aku temui masih di ruang auditorium. Ya, mereka di sini untuk study observasi. Hp-ku bergetar. Sms masuk. 
"Mbak, tunggu ya? Palingan bentar lagi selesai." Aku tersenyum. Segera kuketik 
"Oke."
Beberapa menit kemudian, Reza sms.
"Mbak udah nyampe? Kami sekarang lagi di ruang auditorium. Tapi, bentar lagi kayaknya selesai."
"Udah. Nih duduk di pinggir lapangan. Mbak tunggin kok ... :)"
Ku arahkan pandangan kesekitar. Duduk sendirian tanpa teman ngga enak juga. Ada bus, sekitar 6 bus. Banyak juga. Mungkin itu bus yang dinaiki Kinan, Reza dan rombongannya. Langit mulai mendung lagi. Hujan ngga ya?
Hp-ku berdering. 
"Iya, Mbak. Assalamu'alaikum. Kamu dimana? Udah keluar kelas?"
"Wa'alaikumsalam. Udah, Mbak. Mbak Ana sekarang di sebelah mana?" Sahut Mbak Evi. Mbak Evi ini temen kerjaku juga. Dia kerja sambil kuliah. Kebetulan kuliahnya di sini, di UIN Sunan Kalijaga. Tadi, sewaktu aku udah nyampe aku sms Mbak Evi. Sayangnya, dia masih ada ujian. Jadi nunggu sendirian ditemani hembusan angin yang lembut.
"Sebelah selatan masjid, Mbak. Pinggir lapangan. Pake rok merah, blazer item, terus ..."
"Ohh iya, Mbak. Aku lihat kok. Aku ada di parkiran motor nih. Coba balik badan. Liat ke kanan."
Aku berbalik badan. Kulihat Mbak Evi melambaikan tangan sambil senyum. Kubalas lambaian tangannya sambil tersenyum ke arahnya. Dia memakai baju kotak-kotak lengan panjang dipadu kerudung warna senada, kuning. Cukup mencolok, jadi gampang deh liatnya. Hehe. Telepon kututup. Aku beranjak dari tempat dudukku. Ku langlahkan kaki menuju Mbak Evi yang ada di sisi timur masjid, dia berdiri di area parkir.
"Sorry ya, Mbak. Ngga bisa nemenin tadi. Ulangannya baru selesai," ujarnya. Kami berjalan pelan beriringan menuju pintu masjid sebelah timur. 
"Nyantai aja. Gak papa, Mbak. Eh ya, mana tuh yang namanya Ilham? Kenalin dong," aku sedikit menggoda Mbak Evi. Mukanya bersemu merah.
"Ahh, Mbak nih." Ditutup wajah manisnya dengan kedua telapak tangan. Kusenggol lengan kirinya. Aku tersenyum. Sesaat kemudian, Mbak Evi tersenyum. Kami masih berjalan pelan sambil ngobrol ringan.

Beberapa siswa-siswi berjas hijau tosca keluar berhamburan dari ruang auditorium. Kinan? Reza? Mana yaa? Aku dan Mbak Evi saling memandang.
Kemudiaannn ...
 
Bruk! Ada seorang gadis yang tiba-tiba menubrukku. Tangannya melingkar erat di punggungku. Dia memelukku. Gadis itu perawakanmya tak terlalu tinggi. Terpaut beberapa senti denganku. Tubuhnya tidak gemuk. Langsing sepertiku. Sedikit kaget. Hingga beberapa detik kemudian, Kinan? Diakah? Aku balas pelukannya. Aku mendekapnya. Pelan kudengar, ada suara terisak. Ah ...Jangan, An. Tahan. Kau tak boleh menangis. Ku pejamkan mata sesaat. Lalu kuusap air matanya.
"Heeei, lha kok mewek. Dilihatin banyak orang tuh. Ayo duduk di sana."
Kami berjalan beriringan. Aku masih memeluknya. Kami duduk di atas anak tangga masjid sisi timur, dekat area parkir.

Ya, dia Kinan. Orang yang begitu kunantikan. Setahun lebih berteman dengannya, akhirnya kali ini aku bisa bertemu dengannya. Dalam nyata. Aku memeluknya. Memandang wajahnya yang polos. Matanya yang lembut. Senyum manisnya. Menggenggam jarinya. Rabbi ... Masih sulit kupercaya.

Kami kenal lewat chat di dunia maya. Facebook. Awalnya biasa saja. No
thing special. Hingga semakin lama mengenalnya, aku mulai sayang padanya. Sayang bukan hanya sekedar teman, tapi seperti keluarga. Bagiku dia sama dengan adik kandungku. Alasannya? Entahlah. Aku hanya tahu rasa sayang itu ada untuknya. Sosoknya sederhana dan terkadang hobi jahilin orang, bikin gemess. Pandai menulis puisi. Kami sempat beberapa kali berkirim surat. Kini, dia ada disampingku. Masih sulit percaya.
Ana, sadarlah ... itu Kinan. Gadis yang kau rindukan, sayang.

Lihatlah! ... Matanya, senyumnya, wajahnya. Semuanya. Dan, hei, hampir lupa. Di sebelah kananku duduk seorang laki laki, perawakannya tinggi kurus. Berkacamata. Reza.
Aku menoleh ke arahnya. Kujabat tangannya. Dijabatnya balik tanganku sembari tersenyum.
Allah b... aku membatin. Hening sesaat. Ternyata Kinan pemalu. Tapi kalo di telpon atau sms, lancar bener ngomongnya. 
"Tadi dari sekolah berangkat jam berapa?" Tanyaku memecah keheningan.
"Jam 6 kalo ngga salah. Eh, Mbak pangling lho liat Mbak. Beda sama foto," ujar Reza. Dia lebih terlihat santai walaupun masih agak canggung. Mungkin baru pertama ini kopi darat. 
"Oh yaa? Aslinya jauh lebih manis lebih muda ya?" Sahutku. Aish, narsisnya kambuh nih. Reza tertawa kecil. Kinan tersenyum. Akhirnya, kulihat juga senyum manisnya yang selama ini hanya terbayang di pelupuk mata. Kami ngobrol ringan. 
"Mbak rumahnya jauh tho dari sini?" Tanya Kinan.
"Lumayan," jawabku sembari tersenyum. 
"Ihh kenapa sih kok keliatannya tegang gitu. Udah ah, biasa aja lagi. Nyantai," lanjutku. Mereka hanya tersenyum.
Lalu ...

"Mbak aku tinggal ke toilet ya?" Mbak Evi pamit.
"Mbak, boleh foto bareng?" Pinta Reza padaku. Aku mengangguk pelan sambil tersenyum manis. 

"Ki, tolong dong fotoin kita," ujar Reza pada temannya yang tak jauh dari kami. Temannya mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. 1,2,3 ... dan klik. Klik. 2x jepret.



Ngga terasa sudah 5 menit kami bersama, rasanya baru sedetik. Mereka harus pergi. Kumohon, jangan. Sebentar saja. Aku masih ingin bersama kalian. Tetaplah disini, walau hanya 5 menit lagi.
Sayang, kalimat itu hanya mampu kukatakan dalam hati. Bibirku terkunci. 
"Mbak, maaf tapi kita harus balik. Udah ditungguin," ujar Reza. Kupandang mereka bergantian. Kinan ... kulihat sepertinya dia masih enggan beranjak. Lebih tepatnya masih ingin disini.
"Alaaahhh, Za. Bentar dulu, knapa sih?" Ucap Kinan manja pada Reza.
"Kinan ... Emang kamu mau kita ditinggalin disini?" Jawab Reza. Sorot matanya menyiratkan agar Kinan bisa paham sikon. Aahh, jangan sekarang. Sebentar lagi saja. Kumohon. Lagi-lagi aku hanya bisa membatin. An, kau tidak bisa egois. Biarkan mereka pergi. Mereka harus selesaikan tugasnya. Sudahlah. Aku dan Kinan berpelukan sekali lagi.
"Mbak, aku balik ya. Makasih," ucap Kinan terbata. Aku diam. Hanya mengangguk. Rasanya berat melepas pelukan ini. Hampir saja air mataku jatuh tapi masih bisa kutahan.
"Kita balik ya, Mbak." Reza menimpali.
"Hati hati ya ..." Jawabku singkat.

Mereka berjalan beriringan. Berlalu dari hadapanku. Mereka berjalan menuju bus di sebelah selatan lapangan. Sementara aku? Aku masih tetap duduk manis di atas anak tangga. Aku memandangi mereka. Mereka menoleh sesekali sambil terus berjalan. Ingin rasanya aku berlari mengejar mereka. Menghentikan langkah mereka. Kinan ... Aku masih ingin memelukmu. Sekali lagi. Berhentilah ...
Aah Ana, Syukuri saja. Walau hanya 5 menit. Kupejamkan mata. Air mataku akhirnya jatuh. Air mata haru bercampur bahagia. Pelan, kuusap bulir bening yang menetes di pipi. Aku berdiri. Berjalan kearah selatan masjid. Bus mulai jalan satu persatu hingga bus ke enam keluar dari komplek UIN Sunan Ampel. Selamat jalan, Kinan Reza ... Semoga perjalanan kalian indah dan lancar. Aku akan sangat merindukan kalian. Oh, Allah. Kau memang Luar biasa. Allahu Akbar. Terimakasih, Rabbi....
Suatu saat kita akan berjumpa lagi. Insyaallah...
Aku menunggu kalian... Kinan ... Reza....








UINSA, 22 April 2014


## END ##

Selasa, 31 Maret 2015

Lima Menit Untuk Raina



Sedikit bingung berdiri diantara ratusan anak berjas hijau toska,
termasuk aku. Kuarahkan pandangan ke segala penjuru. Mencari sahabatku, Raina.

Ahaaa! itu Raina. Dia celingukan, sepertinya sedang mencariku. Aku sedikit berlari menghampirinya. Hampir dekat. Raina menengok kebelakang. Dia tahu aku sudah ada dibelakangnya.

"Ayo Praas!" Serunya padaku. Dia berlari cukup cepat. Dengan cekatan aku mengikuti langkahnya dari belakang.

'Tenang Raina, sebentar lagi kau akan bertemu dengan seseorang, yang kau anggap Bidadari dalam hidupmu' pekikku dalam hati.

Aku sendiri juga tak sabar ingin bertemu mbak Asma. Wanita sholihah yang begitu respect terhadap semua orang, termasuk kepadaku. Kata-katanya seperti tetesan embun di pagi hari. Memberi motivasi tersendiri untukku. Motivasi ini sangat kubutuhkan, mengingat diriku yang sedang berjuang membuat perubahan untuk keluargaku.
Berawal dari perkenalan kami bertiga di dunia maya alias facebook. Raina lebih dulu kenal mbak Asma. Mereka sangat akrab, yang kutahu bahkan seperti saudara kandung. Hingga akhirnya sekitar Juni tahun lalu, Raina memperkenalkanku pada mbak Asma. Jujur, sampai sekarang aku tak
mengerti jelasnya, sebab Raina mengenalkanku pada mbak Asma. Entahlah, aku tak terlalu memikirkannya. Kurasakan perteman ini mampu memberiku
semangat, bukan untukku saja, pastinya Raina juga. Meskipun jiwanya tak
bisa kutemui dengan mudah.
Apapun itu aku ingin mengatakan ini pada mbak Asma
'Mbak, terimakasih untuk selama ini, We love you'

Terlalu lama membayangkan sosok mbak Asma, aku tak menyadari Raina sudah
sampai di lapangan masjid. Sedangkan aku masih berada di kerumunan
teman-temanku. Aku mempercepat langkahku. Sedikit berlari, ayo Pras
sedikit lagi!



"Embaaakkk" Raina berteriak. Jiwanya terhempas pada pelukan mbak Asma.
Pelukan yang amat erat. Aku yang berdiri agak jauh dari mereka,
menatapnya lekat tanpa bisa berbuat apa-apa. Mengharukan, ah mbk Asma, Raina.
Raina menangis tersedu-sedu. Mungkin ini adalah salah satu moment
terindah dalam hidupnya. Kulihat mbak Asma membelai pundak Raina.
Matanya, aku tahu mbak Asma sedang berusaha sekuat tenaga agar
pertahanannya tidak jebol di depanku dan Raina.
Tangannya dengan lembut mengangkat wajah Raina. Lantas mengusap air matanya "Sudah nduk, cup cup cup, udah gede kok mewekan ki piye tho?"
Hiburnya pada Raina. Aku tersenyum. Jujur aku bingung apa yang harus
kulakukan. Sedari tadi hanya berdiri seperti patung, menyaksikan
pertemuan ini.
'Raina jangan menangis, gak malu apa dilihat orang banyak' gerutuku
dalam hati.


"Ehem" aku berdehem. Hehe biar dianggap sedikit gitu. Dari tadi didiemin sendiri. Mbak Asma menatapku. Tersenyum.
"Oh ini Pras ya? Tinggi banget dek?" Lantas mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Aku menyambut salamnya. Hanya diam sambil tersenyum.

"Ayo sini duduk" tambah mbak Asma, sambil menuntun Raina duduk.
Kamipun duduk di emperan masjid. Hening untuk beberapa saat. Tak tau harus berkata apa. Sebenarnya aku bukan tokoh penting dalam pertemuan ini. Hanya sekedar menemani Raina. Diam mungkin baik. Memberi celah mereka berdua untuk 'temu kangen' hehe.
Aku memperhatikan mereka yang sedang mengobrol, tetapi tak ikut bicara.
Melihat Raina tersenyum membuat hatiku lega. Tangisnya sudah reda, hanya sedikit terlihat merah di matanya.
"Kok diem aja sih profesornya?" Mbak Asma mengajakku bicara.
"Hehe, bingung mbak mau ngomong apa. Ah jangan panggil gitu. Doain aja ya. Oya mbak, pangling lihat sampean. Sedikit berbeda dengan yang di foto" jawabku sekenanya.
"Loh masa iya? Awet mudakan? Hehe Kira-kira nanti mau kuliah disini gak Pras?" tanyanya padaku.
"Hehe, pengennya sih di Surabaya, tapi bukan di sini. Mungkin di UNESA
Mbak"
________

Kulihat jam ditangan kiriku. Lima menit berlalu. Dengan sangat berat
hati harus kusudahi pertemuan ini. Rombongan kami (Aku dan Raina) akan
lanjut perjalanan menuju Pelabuhan Ketapang. Tak lupa, aku meminta foto
bertiga. Ini akan menjadi kenangan untuk kita, terutama Raina.
Dua kali klik berhasil mengambil gambar kami. Mbak Asma duduk di tengah.
Bagaimanapun akhirnya, aku harus mensyukuri kesempatan ini. Ya, walau
hanya lima menit. Lima menit untuk Raina.
'Aku tahu Na, ini kurang bagimu, tapi bagaimana lagi? Kita harus segera
balik ke bus. Semoga Allah memberikan kesempatan yang lebih lama lagi untukmu' Bisikku dalam hati.

"Mbak kita balik dulu ya?" ucapku sebagai tanda perpisahan.
"Sebentar lagilah Pras? Itu masih ada anak yang belum masuk bus" Raina
merengek padaku. Tapi aku bisa apa. Raina ayolah, sudah mulai sepi nih!
"Kamu mau tak ditinggal disini?" tanyaku padanya.
'Maaf Na, aku tahu kau tak ingin menyudahi pertemuanmu secepat ini. Tapi...'
Raina diam. Pandangannya tertuju ke depan. Sedih.
"Yowis, ayo" katanya, menyetujui perpisahan ini.
Sekali lagi Raina memeluk mbak Asma. Rasanya tak ingin Raina melepaskannya.
'Jangan menangis lagi ya Na, aku yakin Allah akan memberi kesempatan lagi untukmu' Doaku dalam hati.
"Assalamualaikum" ucapku dan Raina hampir bersamaan. Kami tersenyum.
Senyuman yang terakhir untuk mbak Asma.
"Wa'alaikumsalam, hati-hati dijalan ya dek Pras, dek Na. Have fun ya di
Bali" Kujabat tangan mbak Asma, bergantian dengan Raina.

Aku berjalan lebih dulu, sedangkan Raina masih memasukkan sepatu ke
kakinya.
"Prasss, tungguin Tuan Putrinya dong. Hehehe" Aku menengok ke belakang, ah mbak Asma becanda mulu. Kutanggapi dengan senyuman saja. Hihi
Aku berjalan di depan Raina. Raina lebih banyak diam dan menunduk.
"Na, aku pengen kasih kado buat mbak Asma. Kira-kira yang cocok buat dia apa ya?" Kupecahkan keheningan ini agar suasana tidak tegang.
"Buku aja Pras" jawabnya sambil mendongakan sedikit kepalanya menghadapku. Maklum, tinggi kami terpaut cukup jauh.
"Buku? Bukunya siapa? Aku gak tau mbak Asma suka buku yang bagaimana"
Alisku menyeringai, mengundang tanda tanya. Raina berjalan menjajariku dan berkata,
"Gampanglah, aku tahu. Besok-besok aku cari info yang lebih lengkap lagi
Pras"
"Oke siiip, Terimakasih ya" jawabku singkat. Raina hanya tersenyum.


"Gimana? Udah puas belum ketemu mbak Asma?" tanyaku. Aku tahu jawabannya pasti belum.
"Belum Pras, ayo balik lagi?" Raina menjawab pertanyaanku sambil melihat ke arah mbak Asma. Aku mengikutinya. Kulihat mbak Asma masih duduk
disana. Seperti sedang melihat kami juga.
"Monggo kalau mau kesana lagi, tapi aku tetep ke bus. Hehe. Sudahlah Na, syukuri pertemuan ini walau hanya lima menit. Aku yakin Allah akan memberi waktu yang lebih lama lagi suatu saat nanti" Aku berusaha menghiburnya.
"Ya Pras, aku akan selalu berdoa untuk itu"
Aku mengangguk, sebagai tanda mengakhiri percakapan kami.
Lantas melanjutkan perjalanan kita menuju bus.

Alhamdulillah, percakapan kami berakhir tanpa sia-sia.

'Na, terimakasih kau telah mengenalkan Bidadarimu padaku.
Embak, thanks for all.
ALLAH jaga Ukhuwah ini. Amiin'









(END)
22 April 2014
Surabaya, UIN Sunan Ampel.

Jumat, 27 Maret 2015

CATATAN HARIAN ANA … #Pras !!

#Pras
(By; asmaul Husna)


Ana : "Foto siapa, nih?"

Pras : "Oooh, temen sekelas Mbak."

Ana : "Temen sekelas apa temen deket?"

Pras : "Heheee ... Mbak nih. Temen sekelas. Tuh fotonya aja di kelas. Deket darimananya? Fina berdiri depan papan, lha aku kan lagi duduk di bangku."

Ana : "Tuh kan, ngelessss. Hmmm ... (acak-acak rambut). Eh, tapi beneran deh, feeling Mbak kayaknya deket nih kalian."

Pras : "Yeee, Kayak dukun aja. Ngga juga kok Mbak. Aku pengen fokus sekolah dulu. Bentar lagi mau ujian. Aku pengen bisa berprestasi. Biar Ibu sama Bapak seneng, keringat mereka yang bercucuran, ngga sia-sia. Ini salah satu cara aku berbakti pada mereka, walau aku tau aku ngga kan mampu balas jasa mereka."

Ana : "Adek Mbak yang satu ini, udah ganteng, berbakti pula. Nurut. Ngga urakan. Jadi makin sayang deh sama kamu."

Pras : "Iiih, Mbak. Mulai deh jailnya kumat."

Ana : "Serius nih, Sayang. Tapi, kalau jatuh cinta pernah kan? Hayooo ngaku."

Pras : "Apaaan sih mbak. Hmmm, dasar yaa. Namanya perasaan cinta itu fitrah Mbak. Kapan datengnya ngga tau. Tiba-tiba ada aja dalem hati."

Ana : "Kesimpulannya?"

Pras : "Menurut Mbak?"

Ana : "Hahaaa ... Tau ah. Dek, mbak seneng kamu memprioritaskan pendidikan kamu. Kamu inget Ibu sama Bapak. Kamu tunjukkan kamu bisa berprestasi. Kamu buat Ibu Bapak bahagia punya kamu. Jangan pernah menyerah, raih impianmu. Kalau soal cinta-cintaan, Mbak saranin ntar aja. Fokus sekarang untuk masa depan kamu. Ngga usah pacaran dulu. Kalau udah nikah baru pacaran."

Pras ; "Iya, Mbak. Aku paham. Makanya dari dulu aku ngga pernah mau pacaran. Pernah sih kagum sama seseorang, tapi ... hanya disimpen dalam hati aja. Ngga berani ngomong. Ntar ajalah, insyaa allah kalau sudah siap menikah baru deh dibilangin sama yang bersangkutan."

Ana : "Hmmm ... keceplosan juga akhirnya. Hahaa."

Pras : "Aaah, Mbak sih resek. Eh ya, minggu depan aku ada olimpiade matematika. Doain ya Mbak.."

Ana : "Siaaap, ndoro... Eh, tapi misalkan nih ya, kamu juara, traktiran yaa."

Pras : "Oke. Aku traktir, Mbak yang bayar!"

Ana : "Hmm, itu sih namanya makan sendiri bayar sendiri."

Pras : "Emang!"


*Percakapan sama si Profesor :D

Minggu, 15 Maret 2015

Coretan Gabungan

*DUKA
Semilir senja mengiringi kepergian dukamu yang mencabik tatanan hati
Sejalan dengan arah mata angin, kau berlari tiada henti
Mengejarnya yang tak mustahil dapat kau gapai
Hei, sadarkan dirimu!Jiwa yang mati tak searti dengan cinta yang kau beri
Api cinta seharusnya tetap menyala meskipun jiwanya telah sirna
Aku tahu, ini hanya masalah waktu.Waktulah yang mengobati dukamu
Berjalan seperti sediakala bersama cinta yang tetap hidup hingga bertemu dalam keabadian Ilahi.

*Coretan Dibuang Sayang

Gadis yang menyisir rindu
Diantara belaian-belaian kasih sayang yang kian terurai.Kuraih puzle-puzle kenangan bersama rindu. Tsa, apakah kau mampu merasakan getaran rasaku?
Dengarkan! Gelombangnyapun kian memajang menggema indah. Menciptakan resonansi tiada henti. Ah Tsa, hatimu masih terlalu beku. Bahkan tetap anggun dalam balutan diam. Biarpun kau tak merasakan getarnya hatiku, namun ada sebuah tempat yang akan menjadi saksi gemuruh cintaku padamu.

Ya, tempat itulah yang tau, betapa istimewanya setiap moment bertemu denganmu disana.Haha, aku selalu takut menatap wajahmu, Tsa. Bukan! Bukan karena wajahmu menakutkan.Sebaliknya, bagiku semua ini terlalu istimewa jika aku merusak cintaku dengan memandangmu. Sungguh, rasanya tak mampu melakukan itu, kecuali pada jarak terjauh kita.

Tsa, rasa ini adalah anugrah dari-Nya. Dan aku akan menjaga dengan segenap setiaku pada-Nya.Aku yakin, jika memang kau bukan tulang rusuknya. Setidaknya penantianku ini tidak sia-sia. Tsa, titip salam cinta dan rindu untukmu.
**Tsa adalah bayangan semu yang akan menjadi nyata. Amiin. InsyaAllah

* KAU *

Malam ini, bersama noktah-noktah putih dilangit , juga bulan yang tak sempurna bulat,mengerlip-ngerlipkan cahayanya kepadaku. Bahwa, rasaku tak bisa terjelaskan, namun bisa kurasakan. Kau tau apa itu?
Bintang, andai kau tau. Rinduku luruh menyatu pada waktu yang berlalu. Sketsa wajahnya samar samar tergambar dalam imajinasi. Aku harus tetap diam. Menjaga segumpal darah yang ada didada. Agar terjaga kesucian cinta ini. Diam, menunggu, dan berdo'a..Jalan terbaik yang harus kulalui.
Untuk KAU... Kau yang tak pernah kutahu siapa namamu. Kau yang mengajariku untuk setia. Kau yang tercipta untukku nanti. Insyallah.*Na Clorida (IX A angkatan 2011/2012) 


Entahlah
Dulu, rindu teramat rindu, cinta teramat cinta. Namun sekarang harapan itu berubah kerdil. Rasa itu musnah. Melayang terbawa angin menjadi mendung yang hitam kelabu, terombang ambing di atas awan. Dan akhirnya luruh bersama air hujan, jatuh ke tanah.
Entahlah, mungkinkah akan bersemi kembali bersama hijaunya rerumputan,atau kekal disana, menyatu dengan tanah menjadi unsur hara.
*NaCl