Selasa, 31 Maret 2015

Lima Menit Untuk Raina



Sedikit bingung berdiri diantara ratusan anak berjas hijau toska,
termasuk aku. Kuarahkan pandangan ke segala penjuru. Mencari sahabatku, Raina.

Ahaaa! itu Raina. Dia celingukan, sepertinya sedang mencariku. Aku sedikit berlari menghampirinya. Hampir dekat. Raina menengok kebelakang. Dia tahu aku sudah ada dibelakangnya.

"Ayo Praas!" Serunya padaku. Dia berlari cukup cepat. Dengan cekatan aku mengikuti langkahnya dari belakang.

'Tenang Raina, sebentar lagi kau akan bertemu dengan seseorang, yang kau anggap Bidadari dalam hidupmu' pekikku dalam hati.

Aku sendiri juga tak sabar ingin bertemu mbak Asma. Wanita sholihah yang begitu respect terhadap semua orang, termasuk kepadaku. Kata-katanya seperti tetesan embun di pagi hari. Memberi motivasi tersendiri untukku. Motivasi ini sangat kubutuhkan, mengingat diriku yang sedang berjuang membuat perubahan untuk keluargaku.
Berawal dari perkenalan kami bertiga di dunia maya alias facebook. Raina lebih dulu kenal mbak Asma. Mereka sangat akrab, yang kutahu bahkan seperti saudara kandung. Hingga akhirnya sekitar Juni tahun lalu, Raina memperkenalkanku pada mbak Asma. Jujur, sampai sekarang aku tak
mengerti jelasnya, sebab Raina mengenalkanku pada mbak Asma. Entahlah, aku tak terlalu memikirkannya. Kurasakan perteman ini mampu memberiku
semangat, bukan untukku saja, pastinya Raina juga. Meskipun jiwanya tak
bisa kutemui dengan mudah.
Apapun itu aku ingin mengatakan ini pada mbak Asma
'Mbak, terimakasih untuk selama ini, We love you'

Terlalu lama membayangkan sosok mbak Asma, aku tak menyadari Raina sudah
sampai di lapangan masjid. Sedangkan aku masih berada di kerumunan
teman-temanku. Aku mempercepat langkahku. Sedikit berlari, ayo Pras
sedikit lagi!



"Embaaakkk" Raina berteriak. Jiwanya terhempas pada pelukan mbak Asma.
Pelukan yang amat erat. Aku yang berdiri agak jauh dari mereka,
menatapnya lekat tanpa bisa berbuat apa-apa. Mengharukan, ah mbk Asma, Raina.
Raina menangis tersedu-sedu. Mungkin ini adalah salah satu moment
terindah dalam hidupnya. Kulihat mbak Asma membelai pundak Raina.
Matanya, aku tahu mbak Asma sedang berusaha sekuat tenaga agar
pertahanannya tidak jebol di depanku dan Raina.
Tangannya dengan lembut mengangkat wajah Raina. Lantas mengusap air matanya "Sudah nduk, cup cup cup, udah gede kok mewekan ki piye tho?"
Hiburnya pada Raina. Aku tersenyum. Jujur aku bingung apa yang harus
kulakukan. Sedari tadi hanya berdiri seperti patung, menyaksikan
pertemuan ini.
'Raina jangan menangis, gak malu apa dilihat orang banyak' gerutuku
dalam hati.


"Ehem" aku berdehem. Hehe biar dianggap sedikit gitu. Dari tadi didiemin sendiri. Mbak Asma menatapku. Tersenyum.
"Oh ini Pras ya? Tinggi banget dek?" Lantas mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Aku menyambut salamnya. Hanya diam sambil tersenyum.

"Ayo sini duduk" tambah mbak Asma, sambil menuntun Raina duduk.
Kamipun duduk di emperan masjid. Hening untuk beberapa saat. Tak tau harus berkata apa. Sebenarnya aku bukan tokoh penting dalam pertemuan ini. Hanya sekedar menemani Raina. Diam mungkin baik. Memberi celah mereka berdua untuk 'temu kangen' hehe.
Aku memperhatikan mereka yang sedang mengobrol, tetapi tak ikut bicara.
Melihat Raina tersenyum membuat hatiku lega. Tangisnya sudah reda, hanya sedikit terlihat merah di matanya.
"Kok diem aja sih profesornya?" Mbak Asma mengajakku bicara.
"Hehe, bingung mbak mau ngomong apa. Ah jangan panggil gitu. Doain aja ya. Oya mbak, pangling lihat sampean. Sedikit berbeda dengan yang di foto" jawabku sekenanya.
"Loh masa iya? Awet mudakan? Hehe Kira-kira nanti mau kuliah disini gak Pras?" tanyanya padaku.
"Hehe, pengennya sih di Surabaya, tapi bukan di sini. Mungkin di UNESA
Mbak"
________

Kulihat jam ditangan kiriku. Lima menit berlalu. Dengan sangat berat
hati harus kusudahi pertemuan ini. Rombongan kami (Aku dan Raina) akan
lanjut perjalanan menuju Pelabuhan Ketapang. Tak lupa, aku meminta foto
bertiga. Ini akan menjadi kenangan untuk kita, terutama Raina.
Dua kali klik berhasil mengambil gambar kami. Mbak Asma duduk di tengah.
Bagaimanapun akhirnya, aku harus mensyukuri kesempatan ini. Ya, walau
hanya lima menit. Lima menit untuk Raina.
'Aku tahu Na, ini kurang bagimu, tapi bagaimana lagi? Kita harus segera
balik ke bus. Semoga Allah memberikan kesempatan yang lebih lama lagi untukmu' Bisikku dalam hati.

"Mbak kita balik dulu ya?" ucapku sebagai tanda perpisahan.
"Sebentar lagilah Pras? Itu masih ada anak yang belum masuk bus" Raina
merengek padaku. Tapi aku bisa apa. Raina ayolah, sudah mulai sepi nih!
"Kamu mau tak ditinggal disini?" tanyaku padanya.
'Maaf Na, aku tahu kau tak ingin menyudahi pertemuanmu secepat ini. Tapi...'
Raina diam. Pandangannya tertuju ke depan. Sedih.
"Yowis, ayo" katanya, menyetujui perpisahan ini.
Sekali lagi Raina memeluk mbak Asma. Rasanya tak ingin Raina melepaskannya.
'Jangan menangis lagi ya Na, aku yakin Allah akan memberi kesempatan lagi untukmu' Doaku dalam hati.
"Assalamualaikum" ucapku dan Raina hampir bersamaan. Kami tersenyum.
Senyuman yang terakhir untuk mbak Asma.
"Wa'alaikumsalam, hati-hati dijalan ya dek Pras, dek Na. Have fun ya di
Bali" Kujabat tangan mbak Asma, bergantian dengan Raina.

Aku berjalan lebih dulu, sedangkan Raina masih memasukkan sepatu ke
kakinya.
"Prasss, tungguin Tuan Putrinya dong. Hehehe" Aku menengok ke belakang, ah mbak Asma becanda mulu. Kutanggapi dengan senyuman saja. Hihi
Aku berjalan di depan Raina. Raina lebih banyak diam dan menunduk.
"Na, aku pengen kasih kado buat mbak Asma. Kira-kira yang cocok buat dia apa ya?" Kupecahkan keheningan ini agar suasana tidak tegang.
"Buku aja Pras" jawabnya sambil mendongakan sedikit kepalanya menghadapku. Maklum, tinggi kami terpaut cukup jauh.
"Buku? Bukunya siapa? Aku gak tau mbak Asma suka buku yang bagaimana"
Alisku menyeringai, mengundang tanda tanya. Raina berjalan menjajariku dan berkata,
"Gampanglah, aku tahu. Besok-besok aku cari info yang lebih lengkap lagi
Pras"
"Oke siiip, Terimakasih ya" jawabku singkat. Raina hanya tersenyum.


"Gimana? Udah puas belum ketemu mbak Asma?" tanyaku. Aku tahu jawabannya pasti belum.
"Belum Pras, ayo balik lagi?" Raina menjawab pertanyaanku sambil melihat ke arah mbak Asma. Aku mengikutinya. Kulihat mbak Asma masih duduk
disana. Seperti sedang melihat kami juga.
"Monggo kalau mau kesana lagi, tapi aku tetep ke bus. Hehe. Sudahlah Na, syukuri pertemuan ini walau hanya lima menit. Aku yakin Allah akan memberi waktu yang lebih lama lagi suatu saat nanti" Aku berusaha menghiburnya.
"Ya Pras, aku akan selalu berdoa untuk itu"
Aku mengangguk, sebagai tanda mengakhiri percakapan kami.
Lantas melanjutkan perjalanan kita menuju bus.

Alhamdulillah, percakapan kami berakhir tanpa sia-sia.

'Na, terimakasih kau telah mengenalkan Bidadarimu padaku.
Embak, thanks for all.
ALLAH jaga Ukhuwah ini. Amiin'









(END)
22 April 2014
Surabaya, UIN Sunan Ampel.

Jumat, 27 Maret 2015

CATATAN HARIAN ANA … #Pras !!

#Pras
(By; asmaul Husna)


Ana : "Foto siapa, nih?"

Pras : "Oooh, temen sekelas Mbak."

Ana : "Temen sekelas apa temen deket?"

Pras : "Heheee ... Mbak nih. Temen sekelas. Tuh fotonya aja di kelas. Deket darimananya? Fina berdiri depan papan, lha aku kan lagi duduk di bangku."

Ana : "Tuh kan, ngelessss. Hmmm ... (acak-acak rambut). Eh, tapi beneran deh, feeling Mbak kayaknya deket nih kalian."

Pras : "Yeee, Kayak dukun aja. Ngga juga kok Mbak. Aku pengen fokus sekolah dulu. Bentar lagi mau ujian. Aku pengen bisa berprestasi. Biar Ibu sama Bapak seneng, keringat mereka yang bercucuran, ngga sia-sia. Ini salah satu cara aku berbakti pada mereka, walau aku tau aku ngga kan mampu balas jasa mereka."

Ana : "Adek Mbak yang satu ini, udah ganteng, berbakti pula. Nurut. Ngga urakan. Jadi makin sayang deh sama kamu."

Pras : "Iiih, Mbak. Mulai deh jailnya kumat."

Ana : "Serius nih, Sayang. Tapi, kalau jatuh cinta pernah kan? Hayooo ngaku."

Pras : "Apaaan sih mbak. Hmmm, dasar yaa. Namanya perasaan cinta itu fitrah Mbak. Kapan datengnya ngga tau. Tiba-tiba ada aja dalem hati."

Ana : "Kesimpulannya?"

Pras : "Menurut Mbak?"

Ana : "Hahaaa ... Tau ah. Dek, mbak seneng kamu memprioritaskan pendidikan kamu. Kamu inget Ibu sama Bapak. Kamu tunjukkan kamu bisa berprestasi. Kamu buat Ibu Bapak bahagia punya kamu. Jangan pernah menyerah, raih impianmu. Kalau soal cinta-cintaan, Mbak saranin ntar aja. Fokus sekarang untuk masa depan kamu. Ngga usah pacaran dulu. Kalau udah nikah baru pacaran."

Pras ; "Iya, Mbak. Aku paham. Makanya dari dulu aku ngga pernah mau pacaran. Pernah sih kagum sama seseorang, tapi ... hanya disimpen dalam hati aja. Ngga berani ngomong. Ntar ajalah, insyaa allah kalau sudah siap menikah baru deh dibilangin sama yang bersangkutan."

Ana : "Hmmm ... keceplosan juga akhirnya. Hahaa."

Pras : "Aaah, Mbak sih resek. Eh ya, minggu depan aku ada olimpiade matematika. Doain ya Mbak.."

Ana : "Siaaap, ndoro... Eh, tapi misalkan nih ya, kamu juara, traktiran yaa."

Pras : "Oke. Aku traktir, Mbak yang bayar!"

Ana : "Hmm, itu sih namanya makan sendiri bayar sendiri."

Pras : "Emang!"


*Percakapan sama si Profesor :D

Minggu, 15 Maret 2015

Coretan Gabungan

*DUKA
Semilir senja mengiringi kepergian dukamu yang mencabik tatanan hati
Sejalan dengan arah mata angin, kau berlari tiada henti
Mengejarnya yang tak mustahil dapat kau gapai
Hei, sadarkan dirimu!Jiwa yang mati tak searti dengan cinta yang kau beri
Api cinta seharusnya tetap menyala meskipun jiwanya telah sirna
Aku tahu, ini hanya masalah waktu.Waktulah yang mengobati dukamu
Berjalan seperti sediakala bersama cinta yang tetap hidup hingga bertemu dalam keabadian Ilahi.

*Coretan Dibuang Sayang

Gadis yang menyisir rindu
Diantara belaian-belaian kasih sayang yang kian terurai.Kuraih puzle-puzle kenangan bersama rindu. Tsa, apakah kau mampu merasakan getaran rasaku?
Dengarkan! Gelombangnyapun kian memajang menggema indah. Menciptakan resonansi tiada henti. Ah Tsa, hatimu masih terlalu beku. Bahkan tetap anggun dalam balutan diam. Biarpun kau tak merasakan getarnya hatiku, namun ada sebuah tempat yang akan menjadi saksi gemuruh cintaku padamu.

Ya, tempat itulah yang tau, betapa istimewanya setiap moment bertemu denganmu disana.Haha, aku selalu takut menatap wajahmu, Tsa. Bukan! Bukan karena wajahmu menakutkan.Sebaliknya, bagiku semua ini terlalu istimewa jika aku merusak cintaku dengan memandangmu. Sungguh, rasanya tak mampu melakukan itu, kecuali pada jarak terjauh kita.

Tsa, rasa ini adalah anugrah dari-Nya. Dan aku akan menjaga dengan segenap setiaku pada-Nya.Aku yakin, jika memang kau bukan tulang rusuknya. Setidaknya penantianku ini tidak sia-sia. Tsa, titip salam cinta dan rindu untukmu.
**Tsa adalah bayangan semu yang akan menjadi nyata. Amiin. InsyaAllah

* KAU *

Malam ini, bersama noktah-noktah putih dilangit , juga bulan yang tak sempurna bulat,mengerlip-ngerlipkan cahayanya kepadaku. Bahwa, rasaku tak bisa terjelaskan, namun bisa kurasakan. Kau tau apa itu?
Bintang, andai kau tau. Rinduku luruh menyatu pada waktu yang berlalu. Sketsa wajahnya samar samar tergambar dalam imajinasi. Aku harus tetap diam. Menjaga segumpal darah yang ada didada. Agar terjaga kesucian cinta ini. Diam, menunggu, dan berdo'a..Jalan terbaik yang harus kulalui.
Untuk KAU... Kau yang tak pernah kutahu siapa namamu. Kau yang mengajariku untuk setia. Kau yang tercipta untukku nanti. Insyallah.*Na Clorida (IX A angkatan 2011/2012) 


Entahlah
Dulu, rindu teramat rindu, cinta teramat cinta. Namun sekarang harapan itu berubah kerdil. Rasa itu musnah. Melayang terbawa angin menjadi mendung yang hitam kelabu, terombang ambing di atas awan. Dan akhirnya luruh bersama air hujan, jatuh ke tanah.
Entahlah, mungkinkah akan bersemi kembali bersama hijaunya rerumputan,atau kekal disana, menyatu dengan tanah menjadi unsur hara.
*NaCl

AMARAH

Gubukku terbakar emosi
Nafas bengap membumbung tinggi
Beradu panas dengan hati
Kian menit kian tergilas suci
Pondasi iman hilang tercaci


Pada hati yang masih sehat
Berpegang kuat pada hakekat
Diam menjaga martabat
Tersenyum penuh semangat


Jika jiwa masih ingat mati
Maka perdamaian menjadi jati diri
Biar lambat namun pasti
Akan hidup yang hanya janji

Amarah lisan terdengar keras
Hingga telinga kucing menjadi panas
Keluarkan kata-kata ganas
Akankan mengabu gubukku yang welas?


Ponorogo, 21 Des 2014

Tentang Sebuah Nama

Untuk Seseorang, yang kusebut namamu dalam sunyi.


 


 


 

Salahkah, jika aku menyembunyikan rupa aslimu? Terus bermain dalam sandiwara kata. Hingga terkadang aku lupa, kau sebenarnya nyata. Benar-benar ada dalam kehidupanku.


 

Ah aku risih, ketika mereka selalu bertanya 'siapakah ***?' atau mencari celah untuk tau tentangmu lebih jauh.

Apa aku harus menjawabnya? Tidak harus bukan?
Aku hanya ingin, mereka cuku tau namamu. Lepas dari itu, biarlah aku yang memegang sendiri rahasia hati ini.

Lagipula nama yang kupakai untuk menyapamu, hanyalah fiktif. Tapi entah, aku merasa tidak asing dengan nama itu. Mungkin memang ada kesamaan.

Okelah, mulai sekarang terserah mereka, akan bagaimana menyimpulkan tentang kisah ini. Toh, yang sebenar-benarnya tau hanya aku dan Dia. Iya kan?

Kau, Seseorang yang ada di sana, semoga segera terkabul hajat yang kau inginkan.
Aku, setia memeluk namamu dalam bait doa.



*Rindu Terulang, 15/02/15

KEMBALI

"KEMBALI"
Oleh; Shazia Habibillah


Memandang bayang diri di antara sekat
Terpantul seonggok daging yang berhitam pekat
Tertatih mengeja nikmat
Padahal rupa-Nya tak pernah diingat
Pada Pemberi seringlah lupa
Akan perintah dan larangannya
Namun Ia tetap memberi
Tak pandang bulu semua terkasihi
Duh Gusti, ampuni diri
Hidayah cinta-Mu sudi menyambangi
Pada jiwa yang hilang iman
Yang dosanya pun seluas lautan
Namun Ya Ghofar...
Kepada siapa aku beristigfar?
Untuk menghapus hitam yang terlanjur terumbar
Kepada siapa jika bukan pada-Mu, Ya Ghofar?
Kini langkahku mulai padang
Siap bangkit menuju tanah ladang
Menyemai amal untuk kehidupan yang lebih terang
Mereguk nikmat iman dari-Mu yang Maha Penyayang
Tuntun daku menuju keabadian hakiki
Bersama mereka saudara se-islami
Meninggalkan pekat yang dulu melingkupi
Menggapai ridho surga Ilahi
*Lembah Terate, 14/03/2015
07:11:04 pm

Rabu, 11 Maret 2015

Seseorang...


Seseorang ...
Lihatlah di sana!
Sulaman dengan dua gambar cartoon yang lucu telah kurampungkan beberapa bulan yang lalu. Aku merasa puas.
Sangat puas.

Andai aku boleh
mengibaratkan, yang kanan adalah seorang laki-laki dan itu kau, yang
kiri adalah perempuan. Semoga itu aku.
Februari lalu aku mulai
merangkainya dan rampung saat kita sudah tak sedekat dulu lagi.
Aku tak menyesali kejadian yang telah terjadi. Tidak!

Ah entahlah, kapan akan
kuberikan sulaman itu kepadamu. Bisa jadi saat kau berbahagia. Ya,
berbahagia dengan orang lain atau berbahagia denganku?
Wallahu a'lam...

Siapapun yang akan
mendampingimu nanti, aku turut bahagia. Karena
sejatinya takdir telah ditentukan sejak zaman azali oleh-Nya.
Tulang rusuk tidak pernah tertukar, itu yang kuyakini.
Tak perlu kau tau bahwa aku menyimpan rasa dalam persahabatan ini.
Yang perlu kau tahu, jika suatu saat nanti sulaman itu telah ada di tanganmu maka pandangilah.
Setiap kotak kecil yang telah terisi benang-benang lembut itu adalah kumpulan rindu yang kurangkai disana. Memanjang sepanjang
waktu aku mengagumimu.


Aku menantimu, Seseorang. Dalam diam.

Ah

Ah
Oleh; Shazia Habibillah

Ah cinta ...
Kau buat hati nestapa
Kesana kemari hanya untuknya
Tak kenal maya atau nyata
Ini sih, namanya cinta buta

Ah rindu ...
Rasa menggebu ingin bertemu
Walau jarak yang jauh berlalu
Kan dilewati walau aral memburu
Kalau begini sih, sudah tak tau malu

Ah ah ah ah
Sudah habis sajak terurai, ya sudahlah!
Aku akan enyah



Ponorogo, 21 Des 2014

RINDUKU MEMBEKU

RINDUKU MEMBEKU
Oleh; Shazia Habibillah

Remah-remah bayang berkelebat menghantuiku

Membawakan setampan kenang yang harus kutelan

Tapi ... yang kucari tak ada dalam kenang

Duh Sayang, izinkan aku menemukanmu
Walau dalam gulita malam
Walau aku tak tahu siapa engkau

Pagi itu, kubuka tirai fajar yang didekap gelapnya dingin
Memandangi bumi yang semakin mengecil


Kau tahu?
Sebongkah rindu yang menggigil telah kutemukan
Membeku dalam penantian panjang
Sesengguk tangis mewarnai kebekuannya

Oooh! Rindu ...

Lalu, saat senja mulai merangkak pergi
Rindu seakan turut mengikuti
Meninggalkan jiwa yang lari
Terhuyung ia mencari tambatan hati


Hingga jasadku kini terpaku, terbelenggu
Sendiri terpekur menunggu kabarmu
Ditemani sekelumit gundah yang kian membisu

Rinduku membeku, menggunung dalam bongkahan salju

Rindu untuk siapa?
Entahlah, aku tak tau ...


Ponorogo, 23 Des 2014

Tentang Sebuah Rindu

Tentang Sebuah Rindu


Di balik senja yang bergulir manja pada ufuk barat, menyemai sinar saga yang merona. Syam sebentar lagi akan bertukar tugas dengan bulan. Di saat itu pula, malaikat langit merekam percakapan dua bidadari bumi. Sebuah elegi rasa yang menghanyutkan para perasa.


"Bu, bolehkah aku bertanya sesuatu?" Gadis itu mendekat pada seorang ibu. Tatapannya mengharap belas kasih. Seakan kerinduan terpancar dari raut wajahnya.
Ibu paruh baya itu menjawab dengan senyuman, sembari tangannya membelai jilbab sang gadis.


"Tentu, Nak. Apa yang akan kautanyakan?" Senyum kembali mengembang. Anggun sekali senyum itu.
"Apakah rindu itu selalu ada ketika jarak membentangkan dua insan, Bu?" Ucap sang gadis lirih, penuh kehati-hatian.
Tangan ibu itu menyentuh dagu si gadis, pelan. Mendongakkannya ke atas. Sorot matanya indah, bulat bening. Memancarkan sebuah rasa penasaran yang besar.
"Rindu? Kau sedang merindukan seseorang, Nak?" Ibu itu menyelidik. Seketika wajah si gadis menunduk. Malu. Tak ada jawaban.
Hening menyergap keduanya. Hanya dentingan jam yang terdengar. Senyap.


"Rindu itu ibarat sebuah doa, Nak. Kau mampu merasakan saat berjauhan dengan seseorang. Namun wujudnya sulit kau jangkau kan? Kecuali pertemuan itu terwujud. Pun doa yang kaulantunkan dijawab oleh-Nya. Orang yang merindu terkadang hanya berpacu pada satu nama. Seperti kaumerindukan Sang Maha Cinta, merindukan pertemuan husnul khatimah. Di sana selalu ada jarak yang memisahkan keduanya." Sang ibu berkata lembut. Kasih sayang terpancar jelas di wajah tuanya.


"Lantas, bagaimana mengobati rindu itu, Bu?" Tanya si gadis lagi. Mata jelinya berpaut dengan wajah ibu itu. Ia berusaha menguak teka-teki yang sedang menjamah pikiran.
"Banyak cara, Nak. Setiap orang pun pasti berbeda mengekspresikan rasa rindu tersebut. Salah satunya; tuangkan pena rindumu pada secarik  kertas. Biarkan ia menari gemulai di atasnya. Atau dengan cara yang paling ampuh, berdoalah. Doakan dia yang kaurindukan. Langsung tidak langsung, dia pasti akan merasakan."


"Aku merindukan seseorang, Bu. Tapi aku tidak tau nama dan rupanya. Setiap malam kurasakan getarnya, jelas berdetak di bilik jantung." Gadis itu mulai bercerita. Membagikan gejolak jiwa yang tengah ia rasakan.


"Kau tak tau namanya?"
"Ya, aku tak tau, Bu. Hanya angan-angan semu yang menyelimuti batas pikiranku saat aku mencoba menerjemahkan apa yang kurasa."


"Ia ada di sini dan di sini." Ibu itu menunjuk tepat di dada dan kepala.
"Jaga ia, Nak. Rapikan, jangan sampai merusak imanmu. Letakkan ia pada tempat yang tepat. Gantungkan semua harap pada Sang Maha Pemberi."


Si gadis mematung. Ia semakin tak mengerti. Ingin bertanya, namun pertanyaan itu seakan tertahan di tenggorokan.


"Kau sedang jatuh hati, Nak. Perihal siapa gerangan yang kau maksud, sejatinya hanya kau dan Dia yang tau saat ini. Jaga ia!" Ibu itu melangkah pergi, meninggalkan gadis seorang diri. Menatap syam yang beberapa detik lagi sempurna terlahap bumi.
Pertanyaan baru menggantung dalam benaknya. Namun, cukup saat ini biarlah tanya itu hanya dia yang tau. Nanti jika sudah tepat, waktu lah yang akan menjawab semuanya.






Ponorogo, 05/02/2015

Seseorang

Seseorang ...
Lihatlah di sana!
Sulaman dengan dua gambar cartoon yang lucu telah kurampungkan beberapa bulan yang lalu. Aku merasa puas.
Sangat puas.

Andai aku boleh
mengibaratkan, yang kanan adalah seorang laki-laki dan itu kau, yang
kiri adalah perempuan. Semoga itu aku.
Februari lalu aku mulai
merangkainya dan rampung saat kita sudah tak sedekat dulu lagi.
Aku tak menyesali kejadian yang telah terjadi. Tidak!

Ah entahlah, kapan akan
kuberikan sulaman itu kepadamu. Bisa jadi saat kau berbahagia. Ya,
berbahagia dengan orang lain atau berbahagia denganku?
Wallahu a'lam...

Siapapun yang akan
mendampingimu nanti, aku turut bahagia. Karena
sejatinya takdir telah ditentukan sejak zaman azali oleh-Nya.
Tulang rusuk tidak pernah tertukar, itu yang kuyakini.
Tak perlu kau tau bahwa aku menyimpan rasa dalam persahabatan ini.
Yang perlu kau tahu, jika suatu saat nanti sulaman itu telah ada di tanganmu maka pandangilah.
Setiap kotak kecil yang telah terisi benang-benang lembut itu adalah kumpulan rindu yang kurangkai disana. Memanjang sepanjang
waktu aku mengagumimu.


Aku menantimu, Seseorang. Dalam diam. 



Ponorogo, 23/12/2014